Asal kata Thalassemia yaitu talassa yang dalam bahasa Yunani berarti laut dan haima yang berarti darah. Yang dimaksud laut disini adalah Laut Tengah, karena dikenal pertama kali di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh seorang dokter dari Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925, yang menjumpai bahwa anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Anemia ini kemudian diberi nama anemia splenic / eritroblastosis / anemia mediteranean / anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya.
Tidak hanya terdapat di sekitar Laut Tengah, tetapi Thalassemia juga ditemukan di Asia Tenggara yang sering disebut dengan sabuk thalassemia sebelum ditemukan untuk pertama kali pada tahun 1925. Di Indonesia banyak ditemukan kasus thalassemia karena adanya migrasi penduduk dan percampuran penduduk. Migrasi penduduk tersebut diduga berasal dari Cina Selatan yang dikelompokkan menjadi dua periode. Kelompok migrasi pertama diperkirakan masuk Indonesia sekitar 3.500 tahun yang lalu dan disebut Protomelayu (Melayu awal) dan migrasi kedua diperkirakan 2.000 tahun yang lalu yang disebut Deutromelayu (Melayu akhir) dengan fenotip Monggoloid yang kuat. Keseluruhan populasi ini menghuni kepulauan Indonesia yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores.
Thalassemia merupakan penyakit genetik. Diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit ini disebabkan kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin sebagai bahan utama darah.
Pada darah manusia terdiri dari plasma dan sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Keseluruhan sel darah tersebut dibentuk oleh sumsum tulang, sementara hemoglobin yang merupakan salah satu pembentuk sel darah merah. Hemoglogin terdiri dari 4 rantai asam amino (2 rantai amino alfa dan 2 rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Karena kegagalan membentuk rantai asam amino inilah sehingga menyebabkan timbulnya thalassemia.
Penyakit thalassemia berdasarkan rantai asam amino yang gagal terbentuk, dibagi menjadi thalassemia beta (hilangnya rantai beta, bentuk homozigot) atau thalassemia trait (carrier = pembawa sifat) atau disebut juga dengan nama thalassemia minor dan thalassemia alfa (hilangnya rantai alfa, bentuk heterozigot) atau disebut juga dengan nama thalassemia mayor. Bentuk homozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia, sedangkan bentuk heterozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia.
Penderita thalassemia mayor (heterozigot) yang telah agak besar menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus bahkan kuranng gizi, perut buncit akibat hepato-splenomegali dengan wajah yang khas mongoloid, frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, maloklusi gigi.
Thalassemia minor atau disebut juga dengan nama thalassemia trait / bawaan adalah orang-orang yang sehat, namun berpotensi menjadi carrier atau pembawa thalassemia. Sementarai itu, thalassemia mayor adalah suatu penyakit darah serius yang bermula sejak awal anak-anak.
Penderita thalassemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka, sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan asfiksia jaringan (kekurangan O2), edema, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Oleh karena itu, penderita thalassemia mayor memerlukan transfusi darah yang sering dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.
Di negara-negara yang mempunyai frekuensi gen thalassemia yang tinggi menimbulkann masalah kesehatan masyarakat. Pada umumnya anak dengan penyakit thalassemia mayor tidak akan mencapai usia reproduktif bahkan mati di dalam kandungan atau mati setelah lahir. Penderita anemia berat dengan kadar Hb di bawah 6-7 gr% harus mendapatkan transfusi darah untuk seumur hidup. Hal ini untuk mengatasi para penderita anemia mempertahankan kadar haemoglobin 9-10% gr%. Pemberian transfusi darah yang berulang-ulang dapat menimbulkan komplikasi hemosiderosis dan hemokromatosis, yaitu menimbulkan penimbunan zat besi dalam jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh seperti hati, limpa, ginjal, jantung, tulang dan pancreas. Tanpa transfusi yang memadai penderita thalassemia mayor akan meninggal pada dekade kedua.
Efek lain yang timbul akibat transfusi adalah tertularnya penyakit lewat transfusi seperti penyakit hepatitis B, C dan HIV. Hingga kini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut bahkan dengan melakukan cangkok sumsum tulang pun belum mencapai hasil yang maksimal. Para ahli terus berusaha untuk mengurangi atau mencegah kelahiran anak penderitta thalassemia mayor atau thalassemia-α heterozigot.
- Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK, Thalassemia dan Permasalahannya.
- http://www.tanyadokteranda.com
0 comments
Posting Komentar